MEMAKNAI SEBUAH KEMERDEKAAN

 

NUSANTARA. Lembayungnews|. Semenjak wabah Corona Virus Disease 2019 melanda negeri seribu pulau ini, semenjak itu pula banyak kejadian yang menyayat hati. Kekurangan pangan, kehilangan pekerjaan sehari-hari dan penyakit yang tak kunjung sembuh menjangkiti.

 

Pola kehidupan harus berubah drastis, menjaga jarak, mengurangi interaksi dan aktivitas keseharian pun mulai diatur ulang. Kebiasaan baru yang tak semua orang dapat mengikutinya apalagi dalam waktu yang terbilang singkat.

 

Tahun ini, di bulan penuh kenangan, penuh cerita dan kisah bahagia dan memilukan, bulan sakral yang mana di bulan ini, 76 tahun yang lalu, Negeri ini menerima hadiah terbesar dalam sejarah dunia, yakni Kemerdekaan, yah, sebuah hadiah yang bukan didapat dengan mudah, namun harus bersimbah darah dan air mata.

 

Selama puluhan tahun penduduk negeri ini merayakan kebahagiaan dari sebuah kemerdekaan dengan berbagai cara, berbagai permainan, parodi, drama karnaval serta berbagai perlombaan. Hal yang menjadi sebuah kebiasaan dari semenjak puluhan tahun lalu. Namun tahun ini, di bulan ini, kebiasaan perayaan itu tiba-tiba musnah.

 

Ternyata tak hanya itu, bukan cuma perayaannya yang mulai punah, namun rasa empati dan peduli terhadap sesama anak negeri pun mulai berangsur mati.

 

Saat ini sangatlah banyak warga masyarakat yang lupa dengan kata bahagia, lupa akan sebuah hiburan karena tertekan oleh regulasi yang berganti-ganti, namun, tetap saja membuat mereka merasa termarjinalkan, tersingkirkan, dan terabaikan.

 

Kehidupan mereka berubah suram, muram laksana sebuah perahu yang tengah menghadapi karam. Tak banyak yang memiliki jiwa toleransi terhadap mereka, hanya untaian kata-kata yang terkadang membuat mereka tambah merasa muak menginjakkan kaki untuk menjalani hidup.

 

Kita semua tahu arti dari kata Merdeka, bahkan anak kecilpun faham dengan ucapan yang sering mereka dengar, Merdeka!. Namun, sungguh tak banyak yang dapat memaknai arti sesungguhnya kata sakral itu, yang ketika pertama kali diucapkan oleh sang proklamator, Soekarno, 76 tahun lalu.

 

Kala itu, ribuan bahkan jutaan mata menitikkan air, jutaan bibir menirukan kata itu dengan semangat hingga keluar urat nadi di lehernya, sembari mengepalkan tangan penuh suka cita. Ada yang histeris karena bahagia ketika mendengar kata MERDEKA lewat saluran radio.

 

Ratusan tahun kata ini dinantikan oleh rakyat Negeri ini, ada yang kehilangan semua keluarganya, hartanya, anggota tubuhnya, kehormatannya, harga dirinya, mata, mulut, telinga, atau malah banyak yang kehilangan harapan untuk hidup, sehingga menjadikannya tak punya lagi kesadaran apakah dia masih hidup atau sudah mati.

 

Saat ini yang dibutuhkan oleh rakyat negeri ini, makna suci dari kata Merdeka, bukan cuma retorika atau seremonial penghormatan terhadap selembar kain dwi warna, putih dan merah. Namun makna hakiki dari sebuah kalimat yang dapat menitikkan air mata, menggugah semangat serta menyentuh kalbu agar merasakan apa itu sebuah kebebasan tanpa tekanan, tanpa ketakutan besok tidak ada beras untuk dimasak dan dimakan.

 

Sulit menemukan tempat dan orang-orang yang punya empati dengan aksi, terlalu mudah menjumpai sekelompok orang yang hanya dapat menyampaikan belasungkawa, memberikan nasihat, lalu melupakan bahwa saudaranya saat ini kekurangan dan berharap uluran tangan.

 

Saya lebih respek terhadap sekelompok orang yang tergabung dalam sebuah organisasi yang intens bergerak membantu sesama, memberi support kepada karang taruna dalam hal olah raga, memberikan bantuan bedah rumah, menyalurkan bantuan pangan pada keluarga yang terkena imbas dari carut marutnya keadaan saat dilanda pandemi. Entah yang dilakukan mereka ikhlas dari hati, atau hanya ingin terkenal ketika dunia sedang bersedih, namun, inilah sebuah tindakan nyata yang jauh lebih bermanfaat daripada hanya memberikan ucapan-ucapan motivasi yang tak jua dapat menumbuhkan semangat hidup.

 

Makna dari kata Merdeka yang akhir-akhir ini berangsur memudar, kita dipaksa untuk memilih diksi yang harus tepat bagi pembesar negeri dalam menyampaikan pendapat, atau ungkapan dalam menuliskan opini adalah sebuah batasan yang sedikit banyak akan merenggut kebebasan yang kita sebut dengan kata merdeka.

 

Masyarakat saat ini membutuhkan sebuah kepastian, bukan cuma harapan-harapan hampa. Mereka butuh arah, harus kemana mereka bertaut dan berlindung saat semua menjadi serba salah. Semua peraturan yang memberatkan hendaknya dicarikan solusi, seperti pembatasan kegiatan usaha mencari nafkah mestinya pemerintah menyiapkan opsi agar masyarakat tidak terkesan diintimidasi.

 

Di hari dan bulan sakral bagi bangsa ini, sungguh tak pantas kita membiarkan ada saudara kita yang menangis karena tiada harapan hidup untuk besok pagi. Merdeka! Merdeka!.

 

Saya pun selalu dapat mengucapkan kata itu.
**

Editorial
Penulis: Rasman Ifhandi

SekCab JMSI Prabumulih

2 thoughts on “MEMAKNAI SEBUAH KEMERDEKAAN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *