PRABUMULIH. Lembayungnews. Kementerian ESDM telah memberikan tugas kepada PT. Pertamina (persero) melalui afiliasinya PT. Pertamina Gas dan PT. Pertagas Niaga untuk mengoprasionalkan dan mengembangkan jaringan gas (jargas) di Kota Prabumulih dengan tetap mengedapankan kaidah keselamatan dan keteknikan.
Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan “Pembangunan infrastruktur jaringan gas merupakan upaya pemerintah demi meningkatkan pelayanan umum dalam penyediaan energi yang murah dan terjangkau bagi masyarakat,” imbaunya saat meresmikan tambahan jaringan gas sebanyak 6.018 Sambungan Rumah (SR) di Kota Prabumulih.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyediaan dan Pendistribusian dari Gas Bumi Melalui Jaringan Transmisi dan/atau Distribusi Gas Bumi Untuk Rumah Tangga dan Pelanggan Kecil.
Disebutkan bahwa tujuan dari program pembangunan jaringan gas tersebut yaitu memberikan akses energi kepada masyarakat sehingga berdampak positif melalui penghematan biaya bahan bakar.
Selain itu juga untuk mewujudkan ekonomi masyarakat mandiri dan ramah lingkungan, serta mengurangi subsidi BBM dan/atau LPG pada sektor rumah tangga.
PT. Pertagas Niaga bersama PT. Anindhita Wira Satya (PT. AWS) telah mengenakan biaya kepada masyarakat sebagai konsumen yaitu biaya jasa maintenance (pemeliharaan pipa). Menurut Ndirga Andri Sisworo selaku Field Manager, bahwa biaya yang dikenakan oleh Pemerintah Kota Prabumulih seharusnya jauh lebih ekonomis dari pada penggunaan gas LPG dalam tabung.
Mencermati dari semua pemberitaan tentang jaringan gas (jargas) di Kota Prabumulih tersebut tentu sangat membanggakan bagi kita masyarakat yaitu bahwa Prabumulih sebagai Kota Gas terbesar di Indonesia. Namun, DPK LAKRI menemukan beberapa hal yang mesti dievaluasi.
Menurut Ketua DPK LAKRI Fandri Heri Kusuma kepada media ini, ada banyak permasalahan yang membuat semua tujuan adanya jaringan gas (jargas) tersebut tidak tercapai.Adapun beberapa hal yang harus dievaluasi dan dibenahi yaitu terkait dengan :
1. Faktor keamanan dari sistem jaringan gas (jargas) yang selama ini telah diabaikan oleh pihak pengelola, termasuk jika ada laporan kebocoran dari masyarakat “low respons” (lambat menanggapi) sehingga mengabaikan kaidah keselamatan dan keteknikan.
2. Faktor ekonomis yang seharusnya melalui program gas rumah tangga ini dapat menghemat biaya penggunaan bahan bakar gas, namun yang terjadi biaya yang dikenakan oleh pihak pengelola kepada masyarakat pelanggan tidak ekonomis, bayangkan saat ini jika kita bandingkan dengan menggunakan tabung gas 3 kg dengan kebutuhan normal rumah tangga hanya membutuhkan 2 tabung per-bulan dengan asumsi harga pertabung 20-30 ribu jadi untuk biaya bahan bàkar hanya dibutuhkan 40-60 ribu/bulan.
Sedangkan jika menggunakan jaringan gas rumah tangga nilai tagihan bisa diatas 100 ribu/bulan bahkan lebih. Yang menjadi keluhan dan komplain di masyarakat yaitu tidak adanya petugas pencatat meter gas yang rutin sehingga terkesan penghitungan pemakaian gas rumah tangga tersebut “nembak diatas kuda” asal-asalan saja tidak sesuai dengan pemakaian.
Selain itu harga tarif per-kubik yang telah ditentukan oleh pihak Pertamina dalam hal ini oleh BPH Migas sektor Rumah Tangga (RT-1) sebesar Rp. 4.250,-/kubik untuk wilayah Prabumulih sudah tidak ditaati lagi oleh pihak pengelola karena temuan kami dilapangan pihak pengelola saat ini diduga telah menarik lebih dari tarif yang telah ditentukan.
Dari kedua faktor tersebut kami menilai bahwa program jaringan gas (jargas) tersebut belum/tidak “berpihak” kepada masyarakat pelanggan di kota prabumulih.
Kami dari DPK LAKRI Prabumulih meminta kepada Pemerintah Kota untuk melakukan evaluasi total terhadap pengelolaan jaringan gas (jargas) di kota prabumulih agar apa yang menjadi amanat undang-undang serta maksud dan tujuan adanya program tersebut dapat dicapai yang pada akhirnya dapat mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. (Raif)
Rasman Ifhandi