Sungai Kelekar dalam Pusaran Arus Pilkada Prabumulih

PRABUMULIH. Lembayungnews. Siang itu, kurang lebih seperempat abad silam. Tahun 2000. Ratusan orang berkumpul di Balai Adat Dusun Prabumulih. Ada “Temu Rakyat”. Membicarakan peran Sungai Kelekar dalam sejarah perkembangan kota minyak ini. Termasuk menggugat pengrusakan lingkungan akibat aktivitas industri minyak dan gas bumi yang terus berlanjut sejak pemerintah Hindia Belanda.

Di hadapan para sesepuh dan warga yang peduli kelestarian Sungai Kelekar, terdapat meja panjang. Ada empat orang narasumber yang melengkapi musyawarah hari itu. Saya ingat tiga di antara empat; ada Nurkholis, S.H, mantan komisioner Komnas HAM yang dulu berbicara sebagai direktur LBH Palembang. Ada juga Abdul Wahib Situmorang, penggiat lingkungan internasional yang saat itu Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumsel. Orang ketiga adalah Andriansyah Fikri yang saat itu merupakan anggota DPRD Kabupaten Muara Enim, sebelum kemudian menjadi anggota DPRD Kota Prabumulih setelah pemekaran wilayah.

Semua narasumber mendukung pemulihan sungai Kelekar dan turut serta dalam advokasi masyarakat korban pengrusakan lingkungan yang berimplikasi pada kerugian ekonomi bahkan hilangnya banyak aspek secara sosio-kultural yang ada di sepanjang Sungai Kelekar.

Nasib Kelekar

Nasib Kelekar. Sedari dulu ia sebatang sungai. Fungsinya sebagai penyanggah kehidupan, bergantung pada perilaku manusia di sekitarnya. Di masa kini, nasib sebatang sungai juga bergantung pada kebijakan dan program pemerintah.

Sebagai aliran air yang besar, secara alami Kelakar sudah menampung, mengendapkan, dan mengalirkan material apa saja yang jatuh ke badannya. Baik material yang jatuh karena proses alam maupun akibat kegiatan manusia. Bisa benda cair, bisa juga benda padat.

Daun jatuh, hasil pelapukan batu, atau ranting kayu, hanyut. Ketika kakek buyut saya mandi di sungai ini, airnya menghanyutkan daki dan keringat dari tubuh yang dibasuh. Bersama daun, pelapukan batu, dan ranting kayu, setelah bermuara ke Sungai Ogan dan bergabung ke Sungai Musi, mengalir ke Selat Bangka.

Seperti sosok terlatih, Sungai Kelekar terampil dalam hal ini. Sampai pada satu ketika. Kurang lebih seabad lalu. Perusahaan minyak milik kerajaan Belanda, Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) menemukan lapangan minyak di sekitar Prabumulih. Lapangan Limau (1928), Gunung Kemala dan Talang Jimar (1937), kemudian menyusul lapangan minyak Ogan, Tanjung Tiga dan Lembak. Prabumulih menjadi basis operasi dan penampungan minyak sebelum dikirim ke Kilang di Plaju.

Minyak dari dalam perut bumi tidak pernah dalam keadaan tunggal ketika diangkat ke permukaan. Bersamanya terikut gas, air asin, dan lumpur. Minyak mentah yang ditampung di Prabumulih dibersihkan dulu dari bahan cemaran sebelum dikirim melalui pipa. Minyak mentah bersih (crude oil) dikirim, gas alam ada yang dialirkan ke rumah-rumah, ada yang dibakar melalui cerobong-cerobong pembakaran (flare) agar tidak menyebar. Sementara, air asin atau air terproduksi, dan lumpur minyak dibuang ke Sungai Kelekar.

Sisa kegiatan pengeboran minyak bumi ini menggenangi Sungai Kelekar dari hari ke hari. Alam memiliki daya tahan sampai batas tertentu. Kelekar semakin kental dengan cemaran. Sungai yang terlatih mengalirkan apa saja ini kemudian mendapat nama baru. Masyarakat Suku Jawa yang bermukim di tepian Kelekar di wilayah Kampung Prabusari (Sekarang masuk kelurahan Majasari) menamainya Kali Minyak. Sebab, setiap hari yang tampak hanya cairan berwarna hitam, berkerak-kerak macam aspal, dengan bau menyengat menguar di sepanjang Sungai. Kecuali saat terjadi banjir di musim penghujan.

Situasi ini berlangsung lama. Jika basis pemisahan minyak di Prabumulih telah dimulai pada era 1920-1930an, maka pembuangan secara sengaja limbah industri migas ke Sungai Kelekar baru terhenti hampir tiga per empat abad kemudian. Tepatnya pada tahun 2000 setelah masyarakat Prabumulih, bersama Walhi Sumsel, LBH Palembang, dan IMPALM melakukan gelombang protes besar dan gugatan terhadap Pertamina. Gugatan tersebut menghasilkan 10 keputusan. Pertamina mengakui pencemaran Sungai Kelakar, Pertamina menghentikan pembuangan limbah cair ke Sungai Kelekar, Pertamina bertanggung jawab melalukan pemulihan (rehabilitasi) Sungai Kelekar, dan 7 keputusan lain. Seusai penetapan keputusan tersebut, kelompok masyarakat Solidaritas Peduli Lingkungan Prabumulih (SPLP) yang menggugat Pertamina pun dibubarkan dengan keyakinan bahwa Pertamina berkomitmen melaksanakan 10 keputusan tersebut.

Kelekar mulai berubah wajah. Tidak lagi pekat. Air terproduksi yang selama ini secara sengaja dibuang langsung ke Kelekar, dipompa kembali ke sumur-sumur tua di lapangan minyak Talang Jimar. Kualitas air Kelekar membaik, ditandai dengan munculnya tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Ikan-ikan lokal yang dulu hilang dari perairan Kelekar di Prabumulih mulai merenangi, salah satunya; ikan palau (Osteochilus hasselti). Bukan hanya kehidupan biota perairan yang membaik, layanan alam Kelekar dalam memenuhi kebutuhan rekreatif juga mulai ada. Terlihat banyak orang senang memancing di Sungai Kelekar.

Alam memiliki daya tahan. Ketika daya tahan ini mencapai batas, Kelekar tak ubahnya sungai mati. Begitulah kondisinya sebelum tahun 2000. Di sisi lain, alam juga memiliki daya pulih. Kekuatan daya pulih secara alaminya terlihat setelah pencemaran masif dihentikan. Tapi niat penghentian pencemaran dan upaya rehabilisasi Kelekar sebagaimana dijanjikan Pertamina berjalan tanpa pengawasan yang baik.

Daya pulih Kelekar secara alami memiliki hambatan. Sudah limbah industri migas, limbah industri kecil, ada banyak pula limbah domestik.

Cemaran dalam bentuk tumpahan minyak mentah berikut kontaminannya masih kerap terjadi baik karena tidak sengaja (sabotase) maupun kelalaian dalam pengawasan dan pemeliharaan pipa (korosif). Selama 23 tahun sejak komitmen Pertamina tidak mencemari Kelekar dinyatakan, tumpahan minyak mentah akibat kebocoran pipa, bukan sesuatu yang langka. Terakhir terjadi lagi kebocoran pipa di Kelurahan Majasari pada tanggal 9 Juli 2023. Penyebabnya, pipa tua telah mengalami kerusakan akibat korosi.

Problem lain adalah banjir. Air yang mencari jalan pulang ke samudra, biasanya singgah di hutan, rawa, atau daerah resapan lain. Perubahan lansekap di sepanjang kelekar yang mengubah sungai alam menjadi parit atau got raksasa tak lagi menyediakan tempat singgah, hingga meluap berebut menuju hilir. Tak lagi ada rawa alami. Kolam retensi belum memadai.

Debit air dari hulu tak lagi sebanding dengan daya alir berhadapan dengan ragam sumbatan dalam rupa sampah. Lalu, banjir.

Singkat kata, memulihkan ekosistem Kelekar tidak bisa hanya mengandalkan kekuatan alam. Ia harus dibantu niat baik manusia melalui sejumlah pendekatan, mulai dari pendekatan sains dan teknologi, sosial budaya, hingga pendekatan politis melalui kebijakan pemerintah. Perlu kerjasama alam dan manusia.

Kelekar dalam Pusaran Arus Pilkada

Membicarakan Pembangunan Prabumulih di masa mendatang, mesti membicarakan Kelekar di masa lalu. Sungai ini menjadi sumber penghidupan dan menjadi urat nadi perkembangan masyarakat Prabumulih. Sebut saja dusun-dusun tua yang mengawali Prabumulih masa kini. Sebagian besar tumbuh di tepian Kelekar. Mulai dari dusun Prabumulih, lalu mengilir berurut; Karang Raja, Muara Dua, Gunung Ibul, Cambai, Sindur, hingga Pangkul. Berjajar dari pangkal ke ujung wilayah Prabumulih.

Hanya satu paslon peserta Pilkada Prabumulih 2024 yang terlihat peduli pada pemulihan Kelekar. Paslon nomor urut 2, Andriansyah Fikri – Syamdakir Amrullah. Pasangan ini menjanjikan penanganan terhadap masalah Sungai Kelekar sehingga memberi fungsi ekologis, sosial, dan ekonomi. Termasuk penanganan masalah banjir melalui kajian utuh menyeluruh dari hulu ke hilir.

Saya teringat pada sungai-sungai di kota/kabupaten lain di Sumatera Selatan. Pada dasarnya masyarakat di Sumatera Selatan memiliki kaitan erat dengan sungai sebagai penopang kehidupan, mulai dari sumber air, sumber pangan, hingga sarana perhubungan.

Bicara sebagai sumber air, mungkin Prabumulih satu-satunya yang tidak dapat memanfaatkan sungai utama sebagai sumber air baku bagi PDAM. Meski beberapa kabupaten/kota tidak hanya mengandalkan satu sungai utama sebagai sumber air, tapi sungai utama tetap menjadi sumber air bagi kebutuhan air bersih warganya.

Sebut saja, Pagar Alam, Lahat, Muara Enim yang memanfaatkan Sungai Lematang. Martapura memanfaatkan Sungai Komering. Baturaja menggunakan air Sungai Ogan. Martapura dan Kayuagung mengolah air sungai Komering. Sekayu dan Palembang mengandalkan Sungai Musi. Sumber air Lubuk Linggau dan Muara Beliti salah satunya berasal dari Sungai Kelingi.

Quo Vadis Pemulihan Kelekar

Kelekar mungkin sudah tak layak sebagai sumber air baku PDAM. Tapi dengan menyelamatkan bagian hulu tetap bisa menjadi penyedia air bersih berbasis kawasan pemukiman.

Banyak orang abai dan enggan menjaga lingkungan ketika mereka tak menyadari kegunaannya secara langsung. Dengan menjadikan kawasan hulu Kelekar sebagai penyedia sumber air bersih, ceritanya akan berbeda.

Bukankah hingga saat ini, sebenarnya Kelekar masih menjadi sumber air penyelamat ketika musim kemarau panjang? Masih banyak warga yang memanfaatkan tepian Kelekar untuk menggali sumur yang masih memancarkan air sekalipun hanya untuk kebutuhan mandi dan mencuci di masa kemarau.

Kembali ke peristiwa seperempat abad lalu di Balai Adat Prabumulih. Pada saat itu, warga Prabumulih bukan sekadar membicarakan bagaimana supaya kualitas lingkungan di Sungai Kelekar membaik. Lebih dari itu adalah bagaimana menyelamatkan sungai sebagai bagian dari memelihara sumber penghidupan. Bukan sekadar keinginan romantis bagi mereka yang di masa lalu pernah bersenang dengan berenang di air Kelekar. Lebih dari itu, mereka membicarakan persoalan etika lingkungan atau environmental ethic yang berarti menjaga lingkungan di hulu berarti menjaga kehidupan di wilayah hilir. Menyitir puisi Paman Doblang karya penyair WS Rendra, “perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”. Di Pilkada 2024 ini, saya berharap Andriansyah Fikri akan berjuang, melaksanakan kata-kata yang pernah ia ucapkan. (Syam. A.R)

Catatan Syam #07
Prabumulih 11 November 2024
—————-

Editor: Rasman Ifhandi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *